Senin, 22 Agustus 2011

Dibalik Mukzizat Tanaman Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) Sebagai Pengawet Alami

Elok Kamilah Hayati

Dosen Jurusan Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Gedung Saintek Lantai 2, Jl. Gajayana 50 Malang, telp/fax. (0341) 558933 email: eloksunardji@yahoo.com
ABSTRAK
Keanekaragaman tumbuhan yang dimiliki Indonesia merupakan salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga kita patut bersyukur dan memanfaatkanya dengan baik. Tanaman belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi Linn) mempunyai kandungan senyawa aktif baik pada batang, buah dan daun yang berpotensi sebagai antibakteri. Pada batang mengandung senyawa saponin, pada buah mengandung senyawa flavonoid, triterpenoid dan daun mengandung senyawa aktif tannin, flavonoid, terpenoid. Senyawa-senyawa tersebut yang diduga sebagai senyawa antibakteri.
Pengujian secara in vitro pada bakteri Escherichia coli (E. coli), Staphylococcus aureus (S. aureus), Micrococcus luteus (M. luteus) dan Pseudomonas fluorescens (P. fluorescens) menunjukkan potensi yang aktif sebagai antibakteri. Adanya potensi antibakteri yang terdapat dalam tanaman belimbing wuluh, menjadikan peluang untuk dikembangkan penelitian-penelitian lebih lanjut sebagai obat diare atau pengawet alami pengganti formalin.
Kata Kunci: belimbing wuluh, antibakteri, senyawa aktif
PENDAHULUAN
Indonesia yang beriklim tropis memiliki aneka ragam tumbuhan, dan beberapa tumbuhan dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional. Senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tumbuhan selain sebagai obat tradisional juga dapat digunakan sebagai antibakteri dan pengawet alami. Penggunaan antibakteri sintetik atau pengawet sintetik pada makanan seperti penambahan formalin jika dikonsumsi secara terus menerus akan menyebabkan penyakit. Adanya fenomena di atas mendorong manusia untuk mencari solusi yang terbaik bagi kesehatan. Solusi yang dilakukan adalah mencari alternatif pengganti antibakteri sintetis dengan menggunakan antibakteri alami yang dapat diperoleh dari tanaman.
Keanekaragaman tumbuhan yang dimiliki Indonesia merupakan salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga kita patut bersyukur dan memanfaatkanya dengan baik, didalam firmannya Allah telah menjelaskan dalam surat Al-an’am ayat 99
” Dan dialah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan Maka kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau. kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat diatas menjelaskan bagaimana buah diciptakan dan berkembang pada fase yang berbeda-beda sehingga sampai pada fase kematangan secara sempurna, dan berbagai unsur yang beraneka ragam didalamnya yang salah satunya dapat kita manfaatkan sebagai obat tradisional dan senyawa antibakteri, dalam QS Asyu’ara ayat 7 Allah berfirman:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?
Shihab (2002) menjelaskan bahwa Allah menembuhkan dari berbagai macam tumbuhan yang baik, yaitu subur dan bermanfaat. Ayat diatas juga menjelaskan bahwasanya Allah menciptakan berbagai jenis tumbuhan dibumi ini, dan semua itu tiada yang sia-sia, oleh sebab itu manusia yang telah dibekali akal oleh Allah mempunyai kewajiban untuk memikirkan, mengkaji serta meneliti apa-apa yang telah Allah berikan untuk kita.
Konsumen membutuhkan makanan yang segar, murah dan mudah disajikan sebagai tuntutan zaman yang makin praktis. Tuntutan kepentingan ekonomi dan semakin kompleksnya permasalahan pangan diikuti dengan pertumbuhan bahan-bahan kimia sebagai pengawet.
Banyak hasil penelitian yang menyebutkan potensi suatu tanaman dalam mengobati penyakit tertentu ataupun sebagai antibakteri. Pengembangan sebagai antibakteri dimanfaatkan sebagai bahan pengawet. Antibakteri adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Penggunaan pengawet bertujuan untuk menjaga agar makanan tidak mudah rusak, tahan lama tidak merubah struktur atau tekstur makanan tersebut. Penggunaan pengawet sintesis yang cenderung membawa dampak negatif misalnya formalin menjadi masalah tersendiri.
Kecenderungan back to nature mengoptimalkan bahan-bahan alam untuk digunakan sebagai pengawet makanan alami. Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman rempah (seperti jahe, belimbing wuluh, sirih, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya) maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, penggunaan bahan antimikroba kimia, di lingkungan masyarakat (produsen) lebih banyak digunakan dalam produk pangan, mengingat hasil yang lebih baik sebagai pengawet dan biaya yang relatif lebih murah (Hayati, 2009: 136).
Salah satu tanaman yang banyak ditanam di pekarangan dan dimanfaatkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari baik sebagai obat, bumbu dapur, pemberi aroma adalah belimbing wuluh (Averrhoa billimbi L). Tanaman belimbing wuluh ini baik daun, buah bahkan batangnya mempunyai manfaat dan khasiat. Kandungan kimia pada A.bilimbi adalah tanin, saponin, glukosida, sulfur, asam format, peroksida. (http://alatkesetahan.com 2007). Menurut Tan et al. (2005) meliputi asam amino, asam sitrat, senyawa fenolik, ion kalsium, cyanidin–3–O–h–D–glucoside, gula dan vitamin. Identifikasi golongan pada ekstrak etanol dari buah belimbing wuluh menunjukkan adanya senyawa flavonoid, triterpenoid (Latifah, 2008).
Daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur, asam format, dan kalium sitrat (Wijayakusuma, 2006). Daun belimbing mengandung tanin sedangkan batangnya mengandung alkaloid dan polifenol (Anonymouse, 2008). Penelitian Fahrani (2009) menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin. Dalimartha (2000) menjelaskan bahwa di dalam daun belimbing wuluh selain tanin juga mengandung sulfur, asam format, kalsium oksalat dan kalium sitrat.
Oleh karena itu melalui tulisan ini, penulis ingin memaparkan bagaimana potensi tanaman belimbing wuluh ini, dengan kandungan senyawa aktif yang terkandung didalamnya mempunyai potensi sebagai antibakteri untuk dikembangkan sebagai pengawet alami sehingga daun belimbing wuluh memiliki nilai ekonomis tinggi.
KAJIAN PUSTAKA
Antibakteri
Antibakteri adalah senyawa yang dapat menghambat pertumbuhan atau mematikan bakteri. Antibakteri dalam definisi yang luas adalah suatu zat yang mencegah terjadinya pertumbuhan dan reproduksi bakteri. Antibiotik maupun antibakteri sama-sama menyerang bakteri, kedua istilah ini telah mengalami pergeseran makna selama bertahun-tahun sehingga memiliki arti yang berbeda. Antibakteri biasanya dijabarkan sebagai suatu zat yang digunakan untuk membersihkan permukaan dan menghilangkan bakteri yang berpotensi membahayakan (Volk and Wheeler, 1993).
Antibakteri adalah jenis bahan tambahan yang digunakan dengan tujuan untuk mencegah kebusukan atau keracunan oleh mikroorganisme pada bahan pangan. Beberapa jenis senyawa yang mempunyai aktivitas antibakteri adalah sodium benzoat, senyawa fenol, asam-asam organik, asam lemak rantai medium dan esternya, sulfur dioksida dan sulfit, nitrit, senyawa kolagen dan surfaktan, dimetil karbonat dan metil askorbat. Antibakteri alami baik dari produk hewani, tanaman maupun mikroorganisme misalnya bakteriosin (Luthana, 2008).
Zat antibakteri dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), baktei static (menghambat pertumbuhan bakteri), dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri). Kemampuan suatu zat antimikrobia dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya : 1) konsentrasi zat pengawet, 2) jenis, jumlah ,umur, dan keadaan mikrobia, 3) suhu, 4) waktu, dan 5) sifat-sifat kimia dan fisik makanan termasuk kadar air, pH, jenis dan jumlah komponen di dalamnya (Luthana, 2008).
Pengujian efektifitas antibakteri adalah teknik untuk mengukur berapa besar potensi atau konsentrasi suatu senyawa dapat memberikan efek bagi mikroorganisme (Dart, 1996 dalam Ayu, 2004). Berdasarkan sifat toksisitasnya selektif, terdapat antibakteri yang bersifat menghambat dan membunuh bakteri (Ganiswarna, 1995).
Proses pengawetan telah ada sejak peradaban manusia. Orang kuno menggunakan bahan yang ada di alam untuk mengawetkan bahan pangan mereka, hal ini dilakukkan secara turun menurun. Penggunaan asap telah digunakan untuk proses pengawetan daging, ikan dan jagung. Demikian pula pengawetan dengan garam, asam dan gula telah dikenal sejak dulu kala. Di abad modern mulai dikenal penggunaan bahan pengawet mengunakan senyawaan kimia sintetis dengan tujuan untuk mempertahankan pangan dari gangguan mikroba, sehingga bahan pangan lebih awet dan tidak merubah tampilan dari bahan pangan tersebut (Hayati, 2009: 133).
Senyawa antimikroba adalah bahan pengawet yang berfungsi untuk menghambat kerusakan pangan akibat aktivitas mikroba. Sejarah penggunaan pengawet didalam bahan pangan sendiri bermula dari penggunaan garam, asap dan asam (proses fermentasi) untuk mengawetkan pangan. Sejumlah bahan antimikroba kemudian dikembangkan dengan tujuan untuk menghambat atau membunuh mikroba pembusuk (penyebab kerusakan pangan) dan mikroba patogen (penyebab keracunan pangan) (Syamsir, 2007).
Belimbing wuluh
Belimbing wuluh pohonnya tergolong kecil, tinggi mencapai 10 m dengan batang tidak begitu besar, kasar berbenjol-benjol, dan mempunyai garis tengah hanya sekitar 30 cm. Percabangan sedikit, arahnya condong ke atas, cabang muda berambut halus seperti beludru berwarna coklat muda. Bentuk daun menyirip ganjil dengan 21-45 pasang anak daun. Bunga berukuran kecil dan berbentuk menyerupai bintang, warnanya ungu kemerahan. (Wijayakusuma, 2006).

Gambar 1 Daun Belimbing Wuluh
Belimbing wuluh dapat tumbuh baik di tempat-tempat terbuka yang mempunyai ketinggian kurang dari 500 meter di atas permukaan laut. Tanaman ini tumbuh baik di daerah tropis dan di Indonesia banyak dipelihara di pekarangan atau kadang tumbuh liar di ladang atau tepi hutan. Tumbuhan belimbing wuluh menghasilkan buah berwarna hijau dan kuning muda atau sering juga disebut berwarna putih (Thomas, 1992).
Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L) atau sering disebut belimbing asam merupakan salah satu tanaman yang tumbuh subur di seluruh daerah di Indonesia khususnya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tanaman ini termasuk salah satu jenis tanaman tropis yang mempunyai kelebihan yaitu dapat berbuah sepanjang tahun (Amnur, 2008).
Klasifikasi ilmiah tanaman belimbing wuluh adalah (Dasuki, 1991)
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (berpembuluh)
Superdivisio : Spermatophyta (menghasilkan biji)
Divisio : Magnoliophyta (berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub-kelas : Rosidae
Ordo : Geraniales
Familia : Oxalidaceae (suku belimbing-belimbingan)
Genus : Averrhoa
Spesies : Averrhoa bilimbi L
Kandungan Kimia Belimbing Wuluh
Batang belimbing wuluh mengandung senyawa saponin, tanin, glukosida, kalsium oksalat, sulfur, asam format. Daun belimbing wuluh mengandung tanin, sulfur, asam format, dan kalium sitrat Wijayakusuma (2006). Daun belimbing mengandung tanin sedangkan batangnya mengandung alkaloid dan polifenol (Anonimouse, 2008).
Penelitian Fahrani (2009) menunjukkan bahwa ekstrak daun belimbing wuluh mengandung flavonoid, saponin dan tanin. Daun belimbing wuluh selain tanin juga mengandung sulfur, asam format , kalsium oksalat dan kalium sitrat. Bahan aktif pada daun belimbing wuluh yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanin. Tanin ini juga digunakan sebagai astringent baik untuk saluran pencernaan maupun kulit dan juga dapat digunakan sebagai obat diare. Daun belimbing wuluh juga mengandung senyawa peroksida yang dapat berpengaruh terhadap antipiretik, peroksida merupakan senyawa pengoksidasi dan kerjanya tergantung pada kemampuan pelepasan oksigen aktif dan reaksi ini mampu membunuh banyak mikroorganisme.
Manfaat Belimbing Wuluh
Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) banyak ditanam sebagai pohon buah. Rasa buahnya asam digunakan sebagai sirup dan bahan penyedap masakan. Selain itu juga berguna untuk membersihkan noda pada kain, mengilapkan barang-barang yang terbuat dari kuningan dan sebagai obat tradisional (Wijayakusuma, 2006).
Daun belimbing wuluh berkhasiat untuk mengurangi rasa sakit atau nyeri dan pembunuh kuman serta dapat menurunkan kadar gula darah, bunganya juga dapat digunakan sebagai obat batuk dan perasan air buah sangat baik untuk asupan vitamin C dan di samping itu perasan buah juga dapat dipakai untuk keramas sebagai penghilang antiketombe, atau digosokkan sebagai penghilang panu (Arland, 2006). Rasa asam dan sejuk pada buah belimbing wuluh dapat menghilangkan sakit, memperbanyak pengeluaran empedu, antiradang, peluruh kencing (Wijayakusuma, 2006).
PEMBAHASAN
Sejak lama telah disadari, bahwa banyak bahan alami memiliki aktivitas menghambat mikroba, yang disebabkan oleh komponen tertentu yang ada didalamnya. Masyarakat Mesir kuno sekitar tahun 1550 SM telah menerapkan penggunaan pengawet alami dengan menggunakan rempah sebagai pengawet pangan dan pembalsem mumi.
Penelitian mengenai potensi pengawet alami yang dikembangkan dari tanaman seperti belimbing wuluh, daun jambu, jahe, sirih, kayu manis, andaliman, daun salam dan sebagainya) maupun dari produk hewani (seperti lisozim, laktoperoksidase, kitosan dan sebagainya) sendiri sebenarnya telah banyak dilakukan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Beberapa hasil penelitian in vitro terhadap efek anti bakteri, menunjukkan potensi yang cukup signifikan pada beberapa tanaman tersebut. Hal ini dtunjukkan dengan terbentukan zona hambat pada sekitar cakram yang dilakukkan menggunakan media agar.
Pemilihan awal suatu senyawa antimikroba umumnya didasarkan atas spektrum antimikrobanya. Senyawa antimikroba yang diinginkan adalah yang luas, meskipun hal ini sulit dicapai. Beberapa senyawa mempunyai kemampuan untuk menghambat beberapa jenis mikroba, tetapi penghambatan suatu mikroba kadang-kadang menyebabkan mikroba lain didalam produk tersebut menjadi dominan. Oleh karena itu, senyawa antimikroba untuk suatu produk harus besifat aktif untuk semua mikroba yang tidak diinginkan didalam produk itu (Syamsir, 2007).
Tanaman belimbing wuluh ini baik daun, buah bahkan batangnya mempunyai manfaat dan khasiat. Kandungan kimia pada A.bilimbi adalah tanin, saponin, glukosida, sulfur, asam format, peroksida. (http://alatkesetahan.com 2007). Identifikasi golongan pada ekstrak etanol dari buah belimbing wuluh menunjukkan adanya senyawa flavonoid, triterpenoid (Latifah, 2008). Mukhlisoh dkk (2010) menyebutkan kandungan daun belimbing wuluh adalah tanin, flavonoid, dan terpenoid. Pelarut aseton :air (7:3) adalah pelarut yang terbaik untuk memperoleh ekstrak senyawa tanin pada daun belimbing wuluh, perhitungan kadar tanin dengan metode Lowenthal-Procter, adalah 10,92% (Ummah, 2010).
Tanaman belimbing wuluh, baik pada batang, buah dan daun, berdasarkan hasil pengujian secara in vitro pada bakteri Escherichia coli (E. coli), Staphylococcus aureus (S. aureus), Micrococcus luteus (M. luteus) dan Pseudomonas fluorescens (P. fluorescens) menunjukkan potensi yang aktif sebagai antibakteri. Senyawa aktif yang diduga yang terdapat pada tanaman belimbing wuluh yang bersifat sebagai antibakteri antara lain, senyawa-senyawa metabolit skunder tannin, flavonoid, alkaloid, tannin, terpenoid, saponin.
Tanaman belimbing wuluh ini baik daun, buah bahkan batangnya mempunyai manfaat dan khasia, batang belimbing wuluh (Faradisa, 2008) dan buah belimbing wuluh (Latifah, 2008), daun belimbing wuluh (Ummah, 2010 dan Mukhlisoh, 2010) secara laboratories mempunyai potensi sebagai antimikroba.
a. Batang Belimbing Wuluh
Senyawa saponin yang terdapat dalam batang Belimbing Wuluh di duga mempunyai potensi sebagai antimikroba. Pada penelitian ini ekstraksi dengan metode ekstraksi bertahap dilakukan sebanyak dua kali. Kadar ekstrak kasar saponin yang diperoleh 0,35 % b/b. Ekstrak saponin dapat menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus pada konsentrasi 200 mg/mL dan terus meningkat sampai pada konsentrasi 800 mg/mL. Akan tetapi efektivitas ekstrak saponin hasil isolasi sebagai antimikroba terhadap S. aureus memberikan zona hambat yang lebih kecil dibandingkan zona hambat antibiotik standar (pinisilin), jadi treatmen ekstrak kasar saponin pada penelitian ini termasuk dalam kategori resisten dalam menghambat pertumbuhan bakteri s. aureus. Zona hambatan terhadap E. coli ditunjukkan pada konsentrasi 300 mg/mL. Pada konsentrasi 300 mg/mL dan terus mengalami peningkatan zona hambat sampai konsentrasi 1000 mg/mL. Akan tetapi efektivitas ekstrak saponin hasil isolasi memberikan zona hambat yang lebih kecil dibandingkan zona hambat antibiotik standar (streptomycin), jadi treatmen ektrak kasar saponin pada penelitian ini termasuk dalam kategori resisten dalam menghambat pertumbuhan bakteri E. coli (Faradisa, 2008).
b. Buah Belimbing Wuluh
Ekstrak etanol dari buah belimbing wuluh, menunjukkan uji positif pada pengujian flavonoid dan terpenoid. Senyawa flavonoid dan terpenoid diduga bersifat aktif sebagai antimikroba. Ekstrak kasar buah belimbing wuluh masih bersifat efektif sebagai antibakteri terhadap bakteri S. aureus dan E. coli, namun ekstrak etanol memberikan zona hambat yang lebih kecil jika dibandingkan dengan zona hambat antibiotik standar pinnisilin. diketahui konsentrasi ekstrak 300, 350, 400 dan 450 mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara konsentrasi lain (Latifah 2008).
c. Daun Belimbing Wuluh
Hasil uji aktifitas antibakteri daun belimbing wuluh dengan pelarut aseton :air (7:3) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli menunjukkan bahwa pada konsentrasi 50 mg/ml sampai 400 mg/ml senyawa tanin memiliki aktivitas antibakteri untuk kedua bakteri uji, berdasarkan uji BNT 1 % untuk bakteri S.aureus diketahui konsentrasi ekstrak 150, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) di antara konsentrasi lain sedangkan untuk E. coli diketahui konsentrasi ekstrak 100, 150, 250, 300, 350, dan 400 mg/mL berpengaruh sangat nyata (p < 0,01) (Hayati dkk, 2009).
Penelitian (Jannah dkk, 2010) menyebutkan bahwa, ekstrak aquades daun Belimbing Wuluh yang di ujikan secara invitro pada bakteri yang menyebabkan kebusukan pada ikan yaitu M. luteusdan P. Flurescens mempunyai potensi sebagai antibakteri. Uji aktivitas bakteri M. luteus diketahui zona hambat pada 0,1-0,8 mg/mL menunjukkan respon hambat,sedangkan konsentrasi 1 mg/mL menunjukkan respon bunuh terhadap pertumbuhan bakteri. Pada bakteri M. luteus diketahui respon hambat sedang, pada 0,1; 0,2; 0,4 mg/mL sedangkan konsentrasi 0,6 dan 0,8 mg/mL menunjukkan respon hambat pertumbuhan kuat. Pada bakteri P. fluorescens hanya memberikan respon hambat. Zona hambat pada 0,1; 0,2 mg/mL menunjukkan respon hambat pertumbuhan sedang. Pada 0,4 mg/mL menunjukkan respon hambat pertumbuhan kuat. Pada 0,6; 0,8 dan 1,0 mg/mL menunjukkan respon hambat pertumbuhan sangat kuat. Senyawa aktif yang memberikan sifat antibakteri tersebut adalah senyawa tannin, karena tannin adalah senyawa polar dan dimungkinkan larut dalam pelarut air.

Gambar 2. Zona hambat ekstrak air 0,8 mg/ml pada bakteri M. luteus dan P. Flurescens
Mekanisme kerja antimikroba secara umum menghambat keutuhan permeabilitas dinding sel, menghambat sistem genetik, menghambat kerja enzim, peningkatan nutrien esensial (Cahyadi, 2008 : 8-9)
a. Menghambat Sintesis Dinding Sel Bakteri
Bahan kimia tidak perlu masuk kedalam sel untuk menghambat pertumbuhan, reaksi yang terjadi pada dinding sel atau membran sel dapat mengubah permeabilitas sel. Hal ini dapat mengganggu atau menghalangi jalannya nutrien masuk kedalam sel, dan mengganggu keluarnya zat-zat penyusun sel dan metabolit dari dalam sel. Kerusakan membran sel dapat terjadi karena reaksi antara bahan pengawet/senyawa antimikroba dengan sisi aktif atau larutnya senyawa lipid. Dinding sel merupakan senyawa yang kompleks, karena itu senyawa kimia dapat bercampur dengan penyusun dinding sel sehingga akan mempengaruhi dinding sel dengan jalan mempengaruhi penghambatan polimerisasi penyusun dinding sel. Apabila berkembang lebih lanjut maka akibatnya kebutuhan sel tidak dapat terpenuhi dengan baik.
b. Menghambat Sistem Genetik
Dalam hal ini senyawa antimikroba/bahan kimia masuk ke dalam sel. Beberapa senyawa kimia dapat berkombinasi atau menyerang ribosom dan menghambat sintesis protein. Jika gen-gen dipengaruhi oleh senyawa antimikroba/bahan kimia maka sintesa enzim yang mengontrol gen akan dihambat.
c. Penghambatan Enzim
Perubahan pH yang mencolok, pH naik turun, akan menghambat kerja enzim dan mencegah perkembangbiakan mikroorganisme.
d. Peningkatan Nutrien Esensial
Mikroorganisme memounyai kebutuhan nutrien yang berbeda-beda, karena itu pengikatan nutrien tertentu akan mempengaruhi organisme yang berbeda pula. Apabila nutrien tersebut diikat, akan lebih sedikit berpengaruh pada organisme dibandingkan dengan organisme lain yang memerlukan nutrien tersebut dalam jumlah banyak.
Senyawa fenol dan turunannya (flavonoid) merupakan salah satu antibakteri yang bekerja dengan mengganggu fungsi membran sitoplasma. Pada konsentrasi rendah dapat merusak membran sitoplasma yang menyebabkan bocornya metabolit penting yang menginaktifkan sistem enzim bakteri, sedangkan pada konsentrasi tinggi mampu merusak membran sitoplasma dan mengendapkan protein sel (Volk dan Wheller, 1993).
Flavonoid bekerja dengan cara merusak membran sitoplasma sehingga bakteri akan rusak dan mati. Mekanisme kerja tanin sebagai antibakteri menurut Naim (2004) berhubungan dengan kemampuan tanin dalam menginaktivasi adhesin sel mikroba (molekul yang menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan sel. Tanin yang mempunyai target pada polipeptida dinding sel akan menyebabkan kerusakan pada dinding sel, karena tanin merupakan senyawa fenol.
Pada perusakan membran sel, ion H+ dari senyawa fenol dan turunannya (flavonoid) akan menyerang gugus polar (gugus fosfat) sehingga molekul fosfolipid akan terurai menjadi gliserol, asam karboksilat dan asam fosfat. Hal ini mengakibatkan fosfolipid tidak mampu mempertahankan bentuk membran sel, akibatnya membran akan bocor dan bakteri akan mengalami hambatan pertumbuhan bahkan kematian (Gilman, dkk., 1991).
Hagerman et.al (1998) jika terbentuk ikatan hidrogen antara tanin dengan protein, terutama pada pH mendekati isoelektrik (4-5) kemungkinan protein yang terendapkan. Fenomena ini dikenal dengan denaturasi protein. Jika protein dari bakteri terdenaturasi, enzim akan inaktif sehingga metabolisme bakteri terganggu yang berakibat pada kerusakan sel.
Senyawa saponin dapat larut dalam lemak dan larut dalam air, senyawa ini akan terkonsentrasi pada selaput sel yaitu bagian yang halus dan penting. (Jawetz, et.al., 1996). Cheeke, P.R., (2004) menjelaskan bahwa saponin adalah senyawa penurun tegangan permukaan yang kuat, saponin bekerja sebagai antimikroba dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri mengalami lisis.
Hasil penelitian yang dilakukkan oleh para peneliti, umumnya menunjukkan bahwa secara in vitro tanaman belimbing wuluh mempunyai potensi antimikroba. Adanya senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibakteri yang terdapat dalam tamanan belimbing wuluh, menunjukkan peluang yang sangat besar untuk dikembangkan baik dalam bidang farmasi datau makanan, ekstrak dari tanaman belimbing wuluh baik pada buah, batang dan daun dapat digunakan sebagai pengawet alami alternatif sehingga dapat mengganti penggunaan pengawet kimia yang marak digunakan dalam masyarakat salah satunya adalah formalin.
Penggunaan bahan alam mempunyai potensi yang sangat besar dan relatif aman terhadap tubuh, Akan tetapi aplikasi penggunaan ke dalam bahan pangan sebagai pengawet alami yang dapat diproduksi secara komersial dan teraplikasikan ke dalam bahan pangan perlu penelitian lebih lanjut. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti-peneliti khususnya di lingkungan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
KESIMPULAN
Allah menciptakan tumbuhan dengan segala keanekaragamannya sebagai salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita, sehingga kita patut bersyukur dan memanfaatkanya dengan baik. Tanaman Belimbing wuluh yang merupakan tanaman yang banyak tumbuh di pekarangan masyarakat indonesia belum termanfaatkan secara optimal. Tanaman belimbing wuluh mempunyai kandungan senyawa aktif baik pada batang, buah dan daun yang berpotensi sebagai antibakteri.
Pada batang mengandung senyawa saponin, pada buah mengandung senyawa flavonoid, triterpenoid dan daun mengandung senyawa aktif tannin, flavonoid, terpenoid. Senyawa-senyawa tersebut yang diduga sebagai senyawa antibakteri. Adanya potensi antibakteri yang terdapat dalam tanaman belimbing wuluh, menjadikan peluang untuk dikembangkan penelitian-enelitian lebih lanjut sebagai obat diare atau pengawet alami pengganti formalin.
DAFTAR PUSTAKA
Amnur. 2008. Cikal Bakal Averhoa Bilimbi. (http://Averhoabilimi.blogspot.com) Diakses 4 April 2009
Anonymous. 2008. Belimbing Wuluh. http://tropical-flowersandfruits.blogspot.com. Diakses tanggal 06 Februari 2009
Arisandi, Y. dan Y. Andriani. 2008. Khasiat Tanaman Obat. Jakarta: Pustaka Buku Murah.
Cahyadi, Wisnu. 2008. Analisis Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Edisi kedua. Jakarta: Bumi Aksara.
Dasuki, U. 1991. Siitematika Tumbuhan Tinggi. Pusat Universitas Ilmu Hayati ITB. Bandung
Faharani, B.G.R. 2009. Uji Aktivitas Antibakteri Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L) terhadap Bakteri Staphylococcus
aureus dan Escherichia coli secara Bioautografi. Skripsi Tidak diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Farmasi FMIPA UII.
Gritter, R. J. 1991. Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. Terjemahan Kokasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Liberty
Hampikian dan Stukus. 2006. Micrococcus. http://microbewiki.kenyon.edu/index.php. Diakses tanggal 25 Mei 2009
Hayati EK, Jannah A dan Fasya AG. 2009. Aktivitas Antibakteri Komponen Tanin Ekstrak Daun Blimbing Wuluh
(Averrhoa Billimbi L) Sebagai Pengawet Alami. Laporan Penelitian Kuantitatif Depag 2009. Jakarta: Depag
Hagerman, A.E, M.E. Rice and N.T. Richard. 1998. Mechanisms of Protein Precipitation For Two Tannins, Pentagalloyl Glucose
and Apicatechin16 (4-8) Catechin (Procyanidin). Journal Of Agri. Food Chem. Vol 46.
Inglis, V, Robert, R and Bromage, N. 2001. Bacterial Diseases of Fish. Australia: Blackwell Science Company
Irawan A. 1995. Pengolahan Hasil Perikanan Home Industri. Solo: CV. Aneka.
Lathifah QA. 2009. Uji Efektifitas Ekstrak Kasar Senyawa Antibakteri Pada Buah Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.) Dengan
Variasi Pelarut
Lenny, S. 2006. Uji Bioaktifitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan Metode Brine Shirmp. Medan: USU
Jannah A, Hayati EK, Mukhlisoh W. 2010. Efektivitas Antibakteri Ekstrak Akuades dan Ekstrak Tanin Pada Daun Belimbing Wuluh
(Averrhoa bilimbi L) secara In Vitro. Prosiding Seminar Nasional Kimia Bahan Alam. Bandung: ITB
Pelczar, M.J dan Chan E.C.S. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Jilid 1. Terjemahan Hadioetomo, R.S. dkk. Jakarta: UI Press.
Sudarmadji S, Haryono dan Suhardi. 2007. Prosedur Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Thiagarajan, S. 2006. Micrococcus. http//www.emlab.comssamplingenv-report-12- 2006.html.mht. Diakses tanggal 05 Mei
2009.
Thomas, ANS. 1992. Tanaman Obat Tradisional 2. Jakarta: Kanisius.
Ummah Mk. 2010. Ekstraksi Dan Pengujian Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Pada Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi L.)
(Kajian Variasi Pelarut). Skripsi Tidak diterbitkan. Malang: Kimia UIN Malang
Volk.W.A and M.F Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Alih Bahasa: Markham. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama
Wijayakusuma, H. 2006. Ramuan Tradisional Untuk Pebgobatan Darah Tinggi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar