Orang Indonesia bisa jadi tergolong paling unik dan kreatif sedunia, terbukti ketika mereka ‘berhasil’ menemukan fungsi lain dari rel kereta yaitu sebagai sarana pengobatan alternatif. Entah siapa yang memulai dan sejak kapan dilakukan, setiap pagi dan sore hari, rel kereta di dekat stasiun Rawabuaya selalu dipadati warga yang datang dari berbagai wilayah. Mereka melakukan hal yang sangat ‘absurd’ yaitu merebahkan dirinya di rel kereta. Yang jelas mereka tidak berniat untuk bunuh diri massal, tetapi justru mereka percaya bahwa berbaring di rel kereta api adalah salah satu cara untuk menyembuhkan segala macam penyakit. Dan mereka menyebut cara ini Terapi Rel Listrik.
Tingginya biaya kesehatan membuat sebagian besar warga Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, memanfaatkan rel kereta api sebagai pengobatan alternatif untuk mengobati berbagai macam jenis penyakit. Ironis memang, tetapi itulah kenyataan yang saat ini terjadi. Warga yang tidak mampu dan sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan harus melakukan pengobatan yang justru sangat membahayakan keselamatan nyawa mereka.
Arif (30), warga sekitar Rawa Buaya yang sehari-harinya bekerja sebagai tukang ojek, mengaku sudah satu setengah tahun menjalani “terapi listrik” rel kereta api. Sama seperti warga lainnya, Arif mulai melakukan pengobatan “terapi listrik” pada 2009 silam karena melihat ada sekerumunan orang berkumpul di rel kereta.
“Saya kirain dulu ada orang yang tabrakan, soalnya banyak orang ngumpul di rel kereta api. Tapi ternyata lagi terapi,” kata bapak satu anak ini, Senin (25/7/2011). Arif mengaku merasa agak takut saat pertama kali ingin mencoba melakukan “terapi listrik” rel kereta api. Akan tetapi, rasa takut itu terkalahkan dengan rasa penasarannya yang lebih besar sehingga dia memberanikan diri mencoba pengobatan alternatif yang terbilang cukup berisiko tersebut.
Setelah mencoba “terapi listrik” rel kereta api, Arif merasa badannya lebih terasa segar dan aliran darah menjadi lancar. Bahkan sakit pinggang dan gangguan sesak di dadanya berangsur-angsur pulih.
“Alhamdulillah sejak terapi di situ jadi mendingan. Sekarang sakit pinggang saya sudah mendingan,” ucapnya.
Menurut Arif, “terapi listrik” rel kereta api tidak hanya dilakukan oleh orang tua dan dewasa saja, bahkan anak remaja pun banyak yang mencobanya, tetapi anak kecil tidak diperbolehkan.
Menurut Arif, “terapi listrik” rel kereta api tidak hanya dilakukan oleh orang tua dan dewasa saja, bahkan anak remaja pun banyak yang mencobanya, tetapi anak kecil tidak diperbolehkan.
Berbeda halnya dengan pengobatan ke puskesmas dan rumah sakit yang harus menyiapkan sejumlah uang, dengan terapi listrik ini, yang diperlukan hanyalah sebuah kain lap basah dan air minum. Lap basah tersebut akan digunakan untuk menggosok rel kereta api supaya tegangan listrik yang dihasilkan menjadi lebih besar. “Kalau kereta lewat, aliran listrik (strum) akan lebih besar, tetapi kalau keretanya enggak lewat, strumnya kecil,” katanya.
Setiap minggu, Arif pergi ke rel kereta api untuk melakukan terapi selama kurang lebih satu jam. Sekitar pukul 16.30, warga sudah berkerumun di sekitar stasiun rel kereta api Rawa Buaya untuk melakukan terapi ini. Bahkan, menurut Arif, banyak warga dari tempat lain yang datang jauh-jauh hanya untuk sekadar melakukan “terapi listrik”. “Rasanya kaya kejet-kejet gitu aja. Pas dipengang badan bergetar semua.
Mulai dari kaki, badan, kepala semua bergetar,” ujarnya. Selama melakukan terapi sejak tahun 2009 sampai sekarang, Arif mengungkapkan belum pernah ada korban yang meninggal akibat melakukan terapi ini, baik itu yang tertabrak kereta api maupun yang terkena tegangan tinggi. Semenjak ramai diberitakan sejumlah media televisi akhir-akhir ini, larangan dan sanksi pun mulai diberlakukan pihak PT Kereta Api Indonesia setempat kepada warga yang masih mencoba melakukan terapi listrik di rel kereta api.
Situasi ini membuat Arif dan beberapa warga sekitar Rawa Buaya, Cengkareng, cukup kecewa. “Dengar-dengar dendanya Rp 15 juta. Padahal buat berobat sendiri sekarang biayanya mahal. Alternatif nyaman ya di kereta api, murah. Cuma modal bawa badan dan air doang,” ujarnya.
Manfaat terapi listrik juga dirasakan Heni (47) yang tinggal tidak jauh dari stasiun kereta Rawa Buaya. Ibu tiga anak ini mengaku sudah merasakan manfaat dari terapi membahayakan ini. Betapa tidak, Heni yang dulunya sering merasa nyeri, kesemutan, dan susah bangun lantaran ada masalah di kaki, saat ini penyakitnya sudah mulai membaik. “Alhamdulillah baik. Semutan hilang, nyeri yang dilutut juga sembuh,” katanya.
Menurut Heni, terapi listrik di rel kereta api sudah dilakukannya sejak 2009 sampai sekarang. Hampir seminggu dua kali dia pergi ke rel kereta untuk menjalani pengobatan yang dipercaya oleh orang sekitar bisa menyembuhkan berbagai macam jenis penyakit.
Uniknya adalah terapi ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh mereka yang dari sisi finansial tidak mampu, tapi juga dilakukan oleh orang-orang yang dari sisi finansial dan pendidikan jauh lebih baik. “Saya mulai terapi ini pas masih sepi, belum banyak orang yang tahu. Sekarang sudah ramai. Bahkan ada yang ke sana bawa motor, mobil. Orang kaya juga banyak yang kumpul,” katanya.
Setelah melakukan terapi (tidur di atas rel), biasanya Heni dan warga lainnya sudah menyiapkan air minum. Air minum tersebut sengaja dibawa untuk mereka minum setelah melakukan terapi. Karena ada anggapan, banyak minum air sehabis melakukan terapi dapat membantu aliran darah menjadi lebih lancar.
Heni mengaku sebelumnya sudah pernah melakukan pengobatan ke puskesmas, tetapi kondisi kesehatannya tak kunjung ada perubahan. Setelah dia mencoba terapi di rel kereta, sakit di kakinya justru berangsur-angsur membaik dan sembuh. “Pokoknya benar deh, saya bukan ngomong bohong ya. Ini kaki saya enggak sakit lagi, semutan hilang. Tapi, sekarang kalau kambuh lagi sudah enggak berani lagi ke sana karena sudah dilarang. Daripada ngeluarin duit sampai Rp 15 juta mendingan berobat ke rumah sakit yang mahal,” tandasnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar