Senin, 03 Oktober 2011

TINGKAT SEROTONIN PENGARUHI AMARAH


Perubahan kadar serotonin dapat terjadi pada individu-individu yang stres atau belum makan.  (PHOTOS.COM)
Perubahan kadar serotonin dapat terjadi pada individu-individu yang stres atau belum makan. (PHOTOS.COM)
(Epochtimes.co.id)
Mengapa beberapa orang cenderung lebih agresif daripada yang lain? Penelitian baru dari Universitas Cambridge menunjukkan bahwa kemarahan merupakan regulasi (pengaturan) yang terkait dengan fluktuasi (gejala naik-turun) tingkat serotonin dalam otak.
Perubahan kadar serotonin dapat terjadi pada individu-individu yang stres atau belum makan. Studi terbaru memeriksa aktivitas daerah otak yang berbeda, dan hubungan mereka dengan pengaturan amarah.
“Kami sudah mengenal selama beberapa dekade bahwa serotonin merupakan kunci dalam memunculkan agresi (amarah, perbuatan kasar), namun baru-baru ini kami telah memiliki teknologi untuk melihat ke dalam otak, dan memeriksa bagaimana serotonin membantu kita dalam mengatur impuls emosional kita,” kata Dr Molly Crockett, rekan penulis pertama studi tersebut, dalam siaran pers.
“Dengan menggabungkan tradisi panjang dalam penelitian dengan teknologi baru, akhirnya kami berhasil mengungkap mekanisme bagaimana serotonin dapat memengaruhi agresi.”
Para peneliti melihat efek dari acute tryptophan depletion (ATD-metode untuk mempelajari tindakan antidepresan) pada 30 individu sehat. Sebuah kuesioner tentang kepribadian menunjukkan individu mana saja yang cenderung berperilaku agresif.
Kemudian peserta penelitian disuruh berdiet, dengan mengonsumsi sedikit tryptophan (jenis asam amino yang biasanya digunakan untuk diet), sehingga perkembangan serotonin terhenti pada satu hari. Kemudian diikuti oleh jumlah normal tryptophan dalam campuran yang sama pada hari lain, sehingga serotonin mengalami efek plasebo (pemulihan diri).
Setelah itu tim mengukur respon otak terhadap gambar wajah yang sedang marah, sedih, dan netral, menggunakan pencitraan magnetik resonansi fungsional (fMRI).
Ketika kadar serotonin otak lebih rendah, peserta menunjukkan gejala lemahnya komunikasi antara daerah korteks prefrontal otak dan amigdala, yaitu sistem limbik otak yang mengatur emosi.
Temuan menunjukkan bahwa ketika tingkat serotonin rendah, korteks prefrontal kurang mampu mengendalikan respon kemarahan yang dihasilkan oleh amigdala (saraf otak yang berperan dalam melakukan pengolahan terhadap reaksi emosi).
“Meskipun hasil penelitian ini berasal dari relawan kesehatan, namun hasil ini masih relevan untuk berbagai gangguan kejiwaan dimana kekerasan merupakan masalah yang umum,” ujar rekan penulis Dr Luca Passamonti dari Consiglio Nazionale delle Ricerche (CNR).
“Kami berharap bahwa penelitian kami akan mengarah untuk meningkatkan diagnostik serta perawatan yang lebih baik untuk kondisi seperti ini.”
Penelitian ini dipublikasikan secara online dalam jurnal Biological Psychiatry pada 15 September.  (Evelyn So / The Epoch Times / osc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar