Keputihan dulu, kanker mulut rahim 2 tahun kemudian. Begitulah pengalaman Suheni. Perempuan guru berusia 40 tahun itu limbung. ‘Saya bingung dan putus asa. Kok bisa terserang kanker,’ ujar Suheni.
Kanker mulut rahim stadium II B. Itulah vonis dokter Rumahsakit dr Sardjito, Yogyakarta. Diagnosis dokter pada pertengahan Agustus 2006 itu bagai godam besar menghantam kepala Suheni. Sel kanker itu datang dengan isyarat keputihan dan rasa nyeri pada perut bagian bawah. Dua tahun lamanya sejak 2004, ia mengalami fluor albus alias keputihan.
Untuk menjinakkan sel ganas yang menyerang rahim, Suheni menjalani 6 kali kemoterapi dan 25 kali penyinaran. Selain membunuh sel kanker, efek terapi itu menyebabkan Suheni letih, lesu, nafsu makan berkurang, dan sering mengantuk. Tak heran, kalau ia tidak bergairah untuk mengajar di sekolah.
Setelah terapi, sel kanker memang dorman beberapa saat. Namun, 10 bulan berselang sel kanker itu kembali mengganas. Suheni pun harus menjalani terapi lagi. Walau 6 kali dikemoterapi, sel kanker tetap bercokol di serviks alias mulut rahim. Padahal, sekali kemoterapi ia mengeluarkan ongkos Rp7-juta. Belum lagi biaya 25 kali penyinaran yang mencapai Rp12-juta. Selain itu ia mesti bolak-balik Kutoarjo-Yogyakarta sejauh 100 km setiap kali kemoterapi.
Keputihan
Demi kesembuhan, ibu tiga anak itu juga harus rela tubuhnya diinfus sebagai jalan masuk obat-obat antikanker. Ia juga rutin mengkonsumsi beragam multivitamin. Namun, penderitaan akibat kanker tak kunjung reda. Menurut dr Sidi Aritjahja, dokter di Yogyakarta, kanker mulut rahim ditandai dengan keputihan yang lama dan pendarahan saat berhubungan seksual.
Penderita biasanya tak menyadari kanker menyambangi serviks. Sebab, sel kanker butuh waktu lama untuk berkembang, 10-20 tahun. Keputihan yang diderita berwarna coklat kemerahan dan bau. Pasien kanker mulut rahim, stadium lanjut kerap kali mengalami pendarahan pada vagina. Penderita pun merasakan nyeri pada perut bagian bawah atau kram panggul, sakit saat berurine dan berhubungan seksual, serta keluar cairan putih encer.
Menurut penelitian Globocan, International Agency for Research on Cancer (IARC), di Indonesia pada 2002 ditemukan 41 kasus dan 20 kematian per hari gara-gara kanker serviks. Kanker ganas itu disebabkan oleh infeksi human papiloma virus (HPV) yang tertular melalui kontak seksual. Selain itu kebiasaan merokok pada perempuan juga menjadi pemicu kanker mulut rahim. Dengan kemoterapi, ternyata kanker serviks muncul lagi seperti terjadi pada Suheni. Oleh karena itu ia menuruti saran kerabat agar mengkonsumsi ekstrak keladi tikus.
Pada November 2008, Suheni mengkonsumsi ekstrak keladi tikus dan rumput mutiara masing-masing 2 kapsul 3 kali sehari. ‘Tubuh terasa fit,’ kata kelahiran 11 Januari 1969 itu. Ketekunan Suheni tak sia-sia karena 4 bulan setelah rutin mengkonsumsi keladi tikus dan rumput mutiara, ia sembuh. Pemeriksaan laboratorium terakhir pada Februari 2009 menunjukkan sel kanker yang bercokol di mulut rahimnya hilang. Sekarang ia tetap mengkonsumsi herbal itu 1 kapsul sehari, ‘Untuk menjaga agar kanker mulut rahim tak kambuh lagi,’ katanya.
Antikanker
Sembuhnya Suheni dari kanker bukan kebetulan. Keladi tikus memang terkenal sebagai antikanker. Rubiyantoro, herbalis dari Kampoeng Herba, Bekasi, Jawa Barat, mengatakan bahwa keladi tikus membantu melawan kanker. Tanaman itu juga mencegah timbulnya kanker setelah pasien menjalani operasi. Khasiat lain sebagai penghilang efek buruk kemoterapi seperti rambut rontok. Mereka yang menjalani kemoterapi dan mengkonsumsi keladi tikus secara teratur terbukti nafsu makannya kembali, rambut tidak mudah rontok, dan rasa sakit di badan berkurang.
Menurut Wahyu Suprapto, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, sifat antikanker keladi tikus karena kemampuan memblokir perkembangan sel-sel kanker dan tumor. Itu sejalan dengan penelitian Choon-Sheen Lai, periset dari Pusat Penelitan Obat, Universitas Sains Malaysia. Hasil penelitian Choon membuktikan keladi tikus Typhonium flagelliforme mampu menghambat pertumbuhan sel kanker dan menginduksi apoptosis.
Menurut Choon nilai IC50-konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% populasi sel uji- ekstrak heksan dan diklorometana (DCM) keladi tikus berturut-turut adalah 53,89 µg/ml dan 15,43 µg/ml. Itu artinya hanya dengan dosis 53,89 µg/ml dan 15,43 µg/ml ekstrak heksan dan DCM keladi tikus mampu menghambat 50% pertumbuhan sel kanker.
Selain itu penelitian Peni Indrayudha, dari Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, membuktikan keampuhan keladi tikus menghambat perkembangan sel kanker karena mengandung Ribosom Inactivating Proteins (RIPs). RIPs merupakan protein toksik yang mampu menghambat sintesis protein. Itu karena RIPs dapat memotong RNA dan DNA superkoil untai ganda menjadi nick circular-lingkaran semu-dan linier. Bila sintesis protein terhambat maka otomatis perkembangan sel kanker juga terhambat.
Peni menginkubasi 3 µl DNA plasmid dengan ekstrak daun Typhonium flagelliforme. Konsentrasi protein yang terkandung dalam ekstrak bervariasi; 10 mg/µl, 20 mg/µl, 30 mg/µl, 40 mg/µl, dan 50 mg/µl. Hasilnya pada konsentrasi protein 10 mg/µl DNA plasmid terpotong membentuk nick circular. Sedangkan pada konsentrasi 20-50 mg/µl DNA terpotong menjadi bentuk linier. Dengan sifat antikanker itulah keladi tikus dapat menaklukkan kanker yang diderita Suheni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar