Senin, 03 Oktober 2011

Menggendong Jamu dan Kehidupan


Nilandari tidak menyangka mahkota Ratu Jamu Gendong akan terpasang di kepalanya. Mahasiswi Universitas Indonesia itu mengalahkan 500 penjual jamu dari seantero Jawa, Minggu (25/10) di Taman Mini Indonesia Indah.
Senyum terus menghiasi wajah Nila, demikian dia disapa. Kebanggaannya sebagai penjual jamu bertambah dengan predikat baru yang disandangnya dari kegiatan yang diselenggarakan PT Jamu Jago. ”Saya tidak malu menjadi penjual jamu karena dari profesi inilah saya bisa hidup dan kuliah,” ucap Nila.
Nila berjualan jamu bersama sang ibu. Setiap hari dia berkeliling di daerah Meruya, Jakarta. Dari situlah keluarga ini mendapatkan pemasukan untuk hidup.
Jika Nila masih bisa kuliah, lain halnya dengan Anis Fadilah (21), Ratu Jamu Gendong 2008. Mimpi kuliah akhirnya pupus setelah lajang asal Wonogiri, Jawa Tengah, ini menemukan kenikmatan menggendong keranjang bambu berisi botol jamu. Saban pukul 02.00, dia meracik dan menyiapkan jamu yang akan dijual. Pukul 03.30, Anis sudah keluar-masuk di sekitar Pasar Minggu, Jakarta Selatan. ”Awalnya saya jual jamu untuk mencari uang kuliah, tetapi lama-lama saya enggak kepingin kuliah karena sudah asyik jualan jamu,” ujar Anis yang tiap hari berjalan 2,5 kilometer sambil menggendong keranjang jamu.
Penjual jamu bukan profesi asing bagi Anis. Ibu dan tiga kakak perempuannya hidup dari menggendong jamu. Anis mengaku sempat enggan menjual jamu. Setelah lulus SMA, dia bekerja sebagai pramuniaga dengan pendapatan Rp 25.000 per hari.
Rupanya, pendapatan ini tidak cukup untuk hidup. Dia masih mendapatkan subsidi hidup dari kakaknya yang sudah lebih dulu berjualan jamu. Lama-kelamaan, rasa malu terkalahkan oleh keinginan untuk mandiri. Keranjang jamu pun digendongnya sejak lima tahun silam.
Dengan jamu Rp 1.500-Rp 5.000 per gelas, Anis kini mempunyai pendapatan minimal Rp 35.000 per hari. ”Kalau sedang ramai, uang Rp 80.000 bisa masuk kantong,” katanya. ”Sekarang saya bisa mengirim uang untuk ibu walaupun hanya sedikit sekali,” tutur Anis.
Memulai profesi sebagai penjual jamu bukan perkara sepele. Anis pernah putus asa ketika satu-dua bulan pertama dia belum punya pelanggan. Pemasukan seret. Kini, ada sekitar 35 orang yang biasa membeli jamunya. Kalau tidak berdagang sehari, ada saja SMS masuk ke ponsel Anis untuk menanyakan keberadaannya.
Gosip ”ada main”
Memang, tidak selamanya pekerjaan ini mulus. Gosip mampir ke telinga Anis. ”Masih ada saja ibu-ibu yang menuduh saya ’ada main’ dengan suami mereka. Bolak-balik saya jelaskan kepada mereka bahwa saya hanya menjual jamu. Maaf saja ya, tidak ada pelayanan lain yang saya jual,” ucap Anis yang punya banyak pelanggan pria.
Gosip serupa juga dialami Wiwik Suprihatin (40). Penjual jamu di Magetan, Jawa Timur, ini juga pernah dituduh punya hubungan istimewa dengan pelanggan laki-laki. ”Tuduhan ini muncul kalau jualan di luar kampung saya. Sekarang saya lebih sering keliling di sekitar rumah agar tidak ada isu aneh-aneh,” paparnya.
Aneka isu ini membuat profesi penjaja jamu masih dipandang sebelah mata. Kondisi ini pula yang mendorong PT Jamu Jago membuat acara pemilihan Ratu Jamu Gendong Indonesia.
”Kami hendak menunjukkan kepada masyarakat bahwa profesi penjual jamu layak diperhatikan, dilestarikan, dihargai, dan dihormati. Lihat saja berapa banyak orang yang dihidupi dari jamu. Di Jakarta, kami ada 50.000 penjual jamu. Belum lagi penjual yang tidak terdeteksi,” ucap Presiden Komisaris PT Jamu Jago Jaya Suprana.
Sebagai ratu jamu, penjual terpilih harus punya pengetahuan tentang jamu yang dijualnya, cara meramu, serta kebersihan dalam penyajian jamu.
Penjual jamu juga menjadi mata rantai penting mengobati aneka penyakit bagi masyarakat, terutama mereka yang punya kantong pas-pasan. Salah satu pelanggan Wiwik menjual dua ekor sapi untuk membiayai pengobatan batu ginjal. Penyakit tidak kunjung sembuh. Si pesakitan ini curhat ke Wiwik. Wiwik menyarankan untuk minum jamu. ”Eh, kok ndilalah (kebetulan), sakit bapak itu berkurang. Sekarang dia langganan jamu,” ucap Wiwik yang menjual satu gelas jamu Rp 5.000.
Jamu juga menjadi solusi ampuh bagi pekerja kasar yang sering pegal linu, masuk angin, atau punya penyakit asam urat. Selain harganya relatif murah, calon pembeli juga bebas konsultasi atau meminta tambahan racikan, seperti kencur, kunyit, jahe, atau telur.
Hidup sehat tidak hanya dirasakan pembeli. Para penjual juga ikutan hidup sehat dari jamu. Surayem (85)—yang dinobatkan sebagai penjual jamu gendong tertua sejagat—juga kerap minum jamu pegal linu untuk mengusir capek.
Keberadaan profesi ini kadang tidak kita sadari. Meski kerap diperdebatkan, keberadaan mereka merupakan solusi alternatif bagi mereka yang mencari kesembuhan di luar biaya medis yang sering kali tak terjangkau.
Sumber : kompas.com (Senin, 26 Oktober 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar